Ekspansi VOC ke Kalimantan Konflik dengan Suku Dayak dan Kerajaan Banjar
Suka
Komentar

Ekspansi VOC ke Kalimantan Konflik dengan Suku Dayak dan Kerajaan Banjar

Kalimantan menjadi salah satu wilayah yang tidak luput dari ekspansi kekuasaan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada abad ke-17 dan 18. Dalam usaha memperluas kekuasaan dan mengamankan jalur perdagangan, VOC terlibat konflik dengan sejumlah entitas lokal seperti Suku Dayak dan Kerajaan Banjar. Ekspansi ini menimbulkan ketegangan karena melibatkan perebutan sumber daya, monopoli perdagangan, dan intervensi politik terhadap kekuasaan tradisional. Artikel ini akan menjelaskan dinamika konflik antara VOC, Suku Dayak, dan Kerajaan Banjar, serta dampaknya bagi masyarakat Kalimantan di masa kolonial.

VOC dan Kepentingan Ekonomi di Kalimantan

Kalimantan dikenal dengan kekayaan alamnya, terutama dalam emas, lada, kayu, dan rotan. Selain itu, letaknya yang strategis di jalur pelayaran menjadikannya penting bagi VOC dalam upaya mengontrol perdagangan di Nusantara. VOC awalnya tertarik pada lada, yang menjadi komoditas utama di Kerajaan Banjar dan sejumlah wilayah pesisir Kalimantan.

Untuk memperkuat monopoli perdagangan, VOC mendirikan pos perdagangan di wilayah pesisir Kalimantan seperti di Sambas, Banjarmasin, dan Kota Waringin. Mereka juga berusaha menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lokal, terutama Kerajaan Banjar yang kala itu menjadi pusat kekuasaan penting di Kalimantan Selatan. Namun, hubungan antara VOC dan Kerajaan Banjar tidak selalu harmonis, karena Belanda berusaha memaksakan monopoli perdagangan dan campur tangan dalam urusan internal kerajaan.

Konflik antara VOC dan Kerajaan Banjar

Sejak pertengahan abad ke-17, VOC mulai melakukan tekanan terhadap Kerajaan Banjar untuk memonopoli perdagangan lada. Pada awalnya, VOC menjalin hubungan dagang dengan penguasa Banjar, tetapi ketegangan meningkat ketika Belanda mulai menuntut hak monopoli atas hasil bumi setempat.

Kerajaan Banjar, yang kala itu dipimpin oleh Sultan Mustain Billah, berusaha mempertahankan kedaulatan ekonominya. Ketegangan ini memuncak dalam konflik terbuka ketika Banjar menolak tunduk pada monopoli Belanda. VOC kemudian mencoba mempengaruhi politik internal kerajaan dengan mendukung faksi-faksi tertentu dalam perebutan kekuasaan. Intervensi VOC dalam suksesi takhta Kerajaan Banjar menambah konflik, memicu perpecahan di kalangan elite kerajaan, dan melemahkan otoritas lokal.

Pada tahun 1787, setelah berbagai pergolakan dan ancaman militer dari VOC, Sultan Tahmidullah II terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian tersebut, Banjar mengakui kekuasaan Belanda dan memberikan hak perdagangan eksklusif kepada VOC. Namun, perlawanan dari pihak kerajaan dan rakyat Banjar tetap berlangsung sporadis, bahkan hingga masa selanjutnya di era kolonial.

Tulis Komentar

0 Komentar